Perspektif sosio historis Perkembangan
dan Siklus
Tesis utama perspektif sosiohistoris perkembangan atau
terlazim juga disebut dengan teori evolusi sosial ini adalah bahwa pada
dasarnya setiap masyarakat (walau secara lambat namun pasti) akan berubah dari striktur
sosial yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks maju dan modern.
Teori ini bersumber dari teori evolusi Darwin yang kemudian
mengilhami ilmuwan sosial dalam mengembangkan teori evolusi sosial, seperti
Herbert Spencer, August Comte dan Emile Durkheim. Perkembangan
masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses
perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh
hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya.
Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara
lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang
perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang
linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka
berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi
oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles
Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi.
Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam
masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat
sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk
didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal
dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks
menuju tahap akhir yang sempurna.
Menurut Spencer, suatu organisme akan
bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar
organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas,
differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti
pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari
keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat
tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil
yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat
industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas
menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya
perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya
peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya
masyarakat global.
Seperti halnya Spencer, pemikiran
Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal
dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai
tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola
pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap
baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan
pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi
perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian
kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan
terspesialisasi.
Membahas tentang perubahan sosial,
Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social
statics (bangunan struktural) dan social
dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan struktur yang
berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial
yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat.
Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke
waktu yang lain. Perubahan pada bangunan struktural maupun dinamika struktural
merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan
konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut
Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak
pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang
mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua
dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan
berulang dan tidak berarti kumulatif.
Perkembangan vs Siklus
Perbandingan
|
Perkembangan
|
Siklus
|
Landasan Pemikiran
|
Perkembangan organisme
|
Perkembangan organisme
|
Sifat perubahan
|
Kumulatif
|
Siklus pasang surut
|
Konsepsi
|
Optimisme
|
Pesimisme
|
Kedua
teori besar ini pada akhirnya mempunyai banyak “turunan”. Teori perkembangan
yang diawali oleh Spencer dan Comte melahirkan pemikiran Marx. Sedangkan teori
siklus melahirkan pemikiran Vilfredo Pareto dan Max Weber. Perjuangan kelas
yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan
berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan
masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai
bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk
masyarakat primitif (primitive communism)
kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap
masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis.
Marx
menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk
mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum
proletar. Revolusi ini kan mampu merebut semua faktor produksi dan pada
akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa
kelas.
Masyarakat
Desa dalam Perubahan Zaman; Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830 - 1980
Catatan perjalanan pembangunan
pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya
hasil penelitian Frans HΓΌsken yang dilaksanan pada
tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat
pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh
pemerintah. Penelitian ini dilakukan di
Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan
keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam
pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi
dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil
mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman,
yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde
baru.
Daerah pedesaan Tayu sebelum 1850
berkembang sering dengan masuknya imperialisme gula oleh Belanda. Sebelum masuk
imperialisme gula tersebut, wilayah ini tidak memiliki arti dan peran yang
penting dalam perekonomian. Sebuah laporan yang dilakukan oleh Du Bus pada
tahun 1825 mencoba membandingkan mengenai pertanian Jawa dan pertanian Eropa.
Gambaran yang disampaikan oleh Du Bus pada waktu itu tentang pertanian Jawa
adalah sebuah pertanian yang tidak berkembang atau mandek. Bagi Du Bus,
pertanian Jawa sudah tidak dapat berkembang karena tatanan sosial masyarakat
pedesaan Jawa dan sifat kebersamaan sosial ekonomi yang berlaku. Menurutnya,
petani Jawa merupakan petani padi yang terlibat dalam berbagai macam upeti dan
kerja suka rela kepada kaum pejabat pribumi, sehingga petani Jawa menjadi
petani yang pasif dan diliputi oleh sifat apatis. Penduduk pedesaan Jawa hampir
seluruhnya merupakan petani kecil yang hanya memiliki secuil tanah. Hasil
pertanian yang diperoleh sebatas untuk menutupi kebutuhan sehari-hari secara
minimal. Secara ekonomi, mereka tidak berani mengambil resiko dalam pemilihan
komoditas, sehingga dari masa ke masa mereka tetap mengusahakan tanaman padi.
Kebijakan yang harus diambil untuk
mengatasi kemandekan tersebut adalah dengan kebijaksanaan politik liberal
sehingga mampu merangsang pertumbuhan perekonomian pemerintah kolonial melalui
bantuan dari luar. Politik ini diwujudkan dalam bentuk perubahan struktur
kepemilikan tanah yang semula komunal menjadi perorangan, mengundang investasi
asing serta menyediakan tanah untuk diusahakan oleh orang Eropa.
Gagasan Du Bus dibantah oleh Van den
Bosch, yang tidak melihat adanya keuntungan bagi pemerintah kolonial apabila
melakukan politik liberal tersebut. Bosch kemudian mengusulkan kebijakan tanam
paksa (cultuurstelsel). Keberhasilan Bosch pada saat bertugas di
Suriname membuat Raja Willem I menghargai pendapatnya, hingga pada tahun 1830,
Bosch menggantikan kedudukan Du Bus. Akhirnya kebijakan tanam paksa menjadi
landasan kebijakan kolonial Belanda sesudah tahun 1830. Bersamaan dengan
masuknya ekonomi kapitalis, timbul pula gejala komersialisasi yang meluas cepat
di daerah pedesaan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya diferensiasi sosial
sebagai akibat konversi penggunaan dan konsentrasi penguasaan tanah di tangan
petani lapisan atas serta pemilik modal. Semakin jelas terjadinya pelapisan
sosial, bahkan menuju pada kesenjangan sosial yang semakin melebar. Kesenjangan
sosial yang cukup lebar ini kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan perlawanan
politik.
Perkembangan
kemudian adalah diferensiasi sosial yang terjadi, sebagai gejala sosiologi
sejak kapitalisme liberal menyusup ke dalam masyarakat desa. Pertentangan antar
lapisan sosial dan pertentangan ekonomi serta politik semakin tajam.
Pertentangan ini terjadi sebagai dampak dari penguasaan atas tanah dan tenaga
kerja. Perebutan yang terjadi mengenai penguasaan atas aset tanah dan tenaga
kerja tidak dapat lepas dari perkembangan dan kemunduran industri gula di
daerah tersebut.
Kesulitan
masyarakat semakin menjadi-jadi setelah krisis ekonomi melanda dunia pada tahun
1930-an. Kesejahteraan penduduk di Tayu dan Desa Gondosari semakin merosot
setelah pada tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa lahan pertanian lagi, bahkan
pada tahun 1933 pabrik gula memecat semua pekerja tetap. Kesengsaraan belum
berakhir seiring dengan pecahnya perang dunia ke-2 dan masuknya pendudukan
Jepang pada tahun 1942. Kebijakan tanam paksa ternyata diwarisi oleh
pemerintahan kolonial Jepang, bahkan seperempat hingga sepertiga hasil panen
disita oleh pemerintah kolonial Jepang untuk memenuhi logistik perang.
Era
kemerdekaan juga tidak dengan serta merta dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Diferensiasi sosial tetap terjadi sebagai akibat komersialisasi dan
akumulasi penguasaan tanah, modernisasi pertanian dan pertikaian politik lokal
sebagai pencerminan dari proses-proses di tingkat nasional. Struktur sosial di
pedesaan tidak berubah, elit desa sebagai lapisan atas yang menguasai tanah
tetap dominan. Lapisan bawah semakin bertambah karena pertambahan penduduk dan
ketertarikan penduduk untuk bekerja sebagai buruh tani di industri gula.
Peralihan
kepemimpinan pada rezim orde baru yang didukung oleh negara-negara barat
merubah pula model pembangunan nasional bangsa kita, termasuk di dalamnya
pembangunan pertanian. Kebijaksanaan pembangunan pertanian menggunakan
pendekatan modernisasi dan intensifikasi dengan tujuan untuk meningkatkan
produksi. Pada era ini pula keberhasilan semu pembangunan pertanian menampakkan
hasilnya. Pada tahun 1985, Indonesia berhasil mewujudkan swasembada pangan
terutama beras.
Dibalik
keberhasilan tersebut, struktur sosial masyarakat pedesaan tetap tidak berubah.
Diferensiasi tetap terjadi bahkan dengan jurang pemisah yang jauh lebih lebar
antara petani kaya dengan petani miskin, antara tuan tanah dengan buruh tani.
Pembangunan pertanian hanya menyentuh petani besar yang menguasai tanah dalam
jumlah besar, sedangkan petani kecil dan buruh tani justru terlempar dari
sektor pertanian. Selain bertahan dengan “keterbatasannya”, petani kecil dan
buruh tani terpaksa melakukan migrasi di daerah perkotaan sehingga memunculkan
masalah baru dalam pembangunan nasional.
Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam
Penelitian ini dilaksanakan di sebuah desa di pantai selatan Madura,
yang diberi nama samaran Desa Parindu. Desa Parindu termasuk dalam wilayah
Kabupaten Sumenep, satu diantara empat kabupaten yang ada di Madura. Sebagian
besar penduduk setempat berdagang komoditi pertanian, terutama tembakau dengan
daerah pemasaran Jawa. Tembakau ini diperoleh dari daerah timur Madura.
Hubungan dagang yang dijalin oleh penduduk Desa Parindu ternyata sangat luas,
tidak terbatas pada daerah di sekitar Madura namun hingga para pengusaha di
Jawa.
Setelah VOC dibubarkan pada tahun
1799, Madura menjadi bagian negara kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial
memutuskan untuk mempertahankan sistem pemerintahan tidak langsung di Madura.
Berbeda dengan para bupati di Jawa yang mengalami pemerintahan langsung di
sebagian besar Jawa. Para bupati di Jawa ditunkan statusnya menjadi pegawai
kolonial, sedangkan penguasa Madura tetap memiliki otonomi dalam pemerintahan.
Pada awal abad 19, para bupati di
Madura berhasil memperluas kemandirian mereka. Setiap tahun Pulau Madura
menyumbangkan sejumlah besar calon serdadu untuk tentara kolonial. Pada tahun
1831 di setiap kabupaten didirikan korps-korps militer yang disebut barisan.
Korps militer ini dilatih oleh para instruktur Eropa untuk memerangi huru-hara
di seluruh nusantara. Akibat “budi baik” para bupati ini, pemerintah kolonial
semakin “memanjakan” para bupati, bahkan bupati mendapatkan kebebasan untuk
mendapatkan penghasilan dari rakyat. Fenomena ini menyebabkan bupati menjadi
penguasa yang lalin dan cenderung “menghisap” rakyat. Pemerintah kolonial
akhirnya menyadari bahwa perilaku para bupati sudah sangat keterlaluan sehingga
secara berangsur-angsur mengurangi wewenang bupati tersebut.
Secara umum Desa Parindu dibagi
menjadi dua wilayah sesuai dengan tipe ekologinya. Wilayah pesisir merupakan
daerah pemukiman yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan laut. Selain
wilayah pesisir, Desa Parindu juga mempunyai wilayah dataran yang agak jauh
dari pantai. Daerah ini dikenal dengan daerah udik. Sebagaimana wilayah Madura
umumnya, daerah udik merupakan wilayah lahan kering sehingga pertanian yang
berkembang merupakan pertanian lahan kering atau tegalan. Komoditas yang paling
dominan adalah kelapa dan siwalan. Desa Parindu pun dikenal sebagai desa
penghasil gula kelapa atau gula aren. Bertambahnya penduduk dan semakin
terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan timbulnya gejala migrasi.
Temuan penting dalam penelitian ini
yang menarik untuk diulas adalah dinamika pengusahaan komoditas tembakau.
Penyebarluasan tanaman tembakau komersial di Madura sangat ditentukan oleh
perkembangan agraris di Jawa. Penerapan sistem tanam paksa maupun introduksi
kapitalisme perkebunan secara tidak langsung memberikan arti penting bagi
budidaya tembakau di Madura. Penanaman tembakau di Jawa dimulai sejak abad 17.
tembakau diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan terbatas ditanam di
sekitar pantai yang sering dikunjungi oleh orang-orang Eropa. Perkembangan
tanaman tembakau menjadi pesat dan menyebar ke berbagai penjuru Jawa. Pada abad
18, tembakau termasuk dalam komoditas penting. Tembakau menjadi barang dagangan
nomor dua setelah beras. Dari berbagai macam tanaman perkebunan yang
diperkenalkan orang Eropa kepada petani Jawa, tembakau menempati urutan paling
tinggi sebagai tanaman yang paling disukai oleh petani Jawa. Penanaman tembakau
di Madura sebelum tahun 1800-an tidak terdapat keterangan yang berarti, mungkin
karena pengusahaannya masih dalam skala terbatas. Pada tahun 1832, tembakau
termasuk dalam salah satu komoditas sistem tanam paksa. Namun di Madura
tembakau masih merupakan tanaman rakyat yang bebas. Perdagangan tembakau
dikuasai oleh orang Jawa dan Cina.
Keterbatasan ekologi Madura
menyebabkan sistem tanam paksa tidak masuk ke Madura. Bahkan ketika
imperialisme gula hadir, Madura menjadi daerah yang tidak tersentuh. Begitu
halnya dengan komoditas tembakau. Seiring meningkatnya jumlah perkebunan
tembakau yang dikelola oleh pemerintah kolonial, banyak tenaga kerja yang
dibutuhkan. Pengalaman dalam penanaman tembakau skala kecil yang dimiliki oleh
orang Madura, menyebabkan dalam waktu singkat mereka mendapatkan pekerjaan di
perkebunan tembakau Jawa.
Pengalaman yang
diperoleh selama menjadi buruh migran di Jawa dipraktekkan di Madura. Walaupun pemerintah kolonial telah melakukan
“penelitian” yang hasilnya adalah tidak merekomendasikan pengembangan tembakau
di Madura, kegiatan penanaman tembakau secara “modern” ini ternyata berhasil.
Sejak saat itu pula perkembangan tembakau di Madura dapat sedemikian pesatnya.
Penyebarluasan tanaman tembakau menimbulkan pergeseran dalam hubungan
kepemilikan tanah dan juga hubungan kerja. Bentuk penyewaan tanah dan bagi
hasil mengalami peningkatan yang sangat berarti. Demikian pula dengan
pertambahan jumlah buruh tani atau petani tanpa tanah.
Perubahan Sosial di Masyarakat Jawa
Periode
|
Parindu
|
Gondosari
|
Pemerintah
kolonial Belanda
|
· Tidak tersentuh sistem tanam paksa akibat
keterbatasan ekologis.
· Tembakau menjadi komoditas yang berkembang di Jawa,
banyak penduduk Madura dipekerjakan pada perkebunan tembakau.
· Tahun 1861 muncul perusahaan partikelir yang mencoba
komoditas tembakau secara intensif dan berhasil.
|
· Munculnya sistem tanam paksa (imperialisme gula).
· Diferensiasi sosial muncul antara lapisan petani
kaya dan petani miskin, tuan tanah dengan buruh tani.
· Pada tahun 1930, krisis ekonomi melanda dunia.
Pabrik gula mengalami kebangkrutan, tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa
lahan pertanian lagi, bahkan pada tahun 1933 pabrik gula memecat semua
pekerja tetap.
|
Pemerintah
kolonial Jepang
|
· Penanaman tembakau mengalami kemunduran. Petani
hanya diperbolehkan menanam tanaman pangan.
|
· Sistem tanam paksa dengan komoditas tanaman pangan,
hingga sepertiga hasil panen dirampas oleh pemerintah kolonial Jepang untuk
logistik perang.
|
Orde
Lama
|
· Tahun 1950-an penanaman tembakau mengalami
peningkatan kembali. British American Tobbaco mulai melirik Madura.
|
· Tahun 1952 pabrik gula beroperasi kembali.
· Tahun 1956 pabrik gula berhenti beroperasi sebagai
akibat aksi buruh dan petani yang berafiliasi ke PKI.
· Pada tahun 1957 pabrik gula diambil alih oleh
pemerintah (militer), namun pengelolaannya tidak efisien sehingga tidak mampu
membayar sewa lahan kepada petani. Petani beralih mengusahakan komoditas
padi.
· Tahun 1960 terjadi krisis ekonomi dan politik.
Ketegangan terjadi antara simpatisan PKI, NU dan PNI.
· Tahun 1965 terjadi pembantaian besar-besaran
terhadap simpatisan PKI oleh pemuda NU.
|
Orde
Baru
|
· Penanaman tembakau semakin intensif dan berkembang
luas di Madura seiring revolusi hijau.
|
· Revolusi hijau, semakin memperlebar diferensiasi
sosial. Hanya petani kaya yang mampu mengakses pembangunan pertanian ala orde
baru.
|
Teori siklus menurut ibnu khaldun
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah,
Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau
sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses
atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat
(`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya.
Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak
pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam
pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan
mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika
kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha
membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini,
penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para
pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa
menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada
tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu
Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan
segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas
kekuasaan yang didukungnya. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena
diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak
peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi
memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang
mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai
pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di
ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu
abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari
masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh
perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup
ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras
untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang
tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban
baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain
(Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah
seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.