Rabu, 26 Oktober 2011

perspektif dalam perubahan sosial


Perspektif sosio historis Perkembangan dan Siklus
Tesis utama perspektif sosiohistoris perkembangan atau terlazim juga disebut dengan teori evolusi sosial ini adalah bahwa pada dasarnya setiap masyarakat (walau secara lambat namun pasti) akan berubah dari striktur sosial yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks maju dan modern.
Teori ini bersumber dari teori evolusi Darwin yang kemudian mengilhami ilmuwan sosial dalam mengembangkan teori evolusi sosial, seperti Herbert Spencer, August Comte dan Emile Durkheim. Perkembangan masyarakat seringkali dianalogikan seperti halnya proses evolusi. suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penemuan ilmu biologi, yang memang telah berkembang dengan pesatnya. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Pemikiran Spencer sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas, differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri. Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya perlindungan atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara, terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.
Seperti halnya Spencer, pemikiran Comte sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu alam. Pemikiran Comte yang dikenal dengan aliran positivisme, memandang bahwa masyarakat harus menjalani berbagai tahap evolusi yang pada masing-masing tahap tersebut dihubungkan dengan pola pemikiran tertentu. Selanjutnya Comte menjelaskan bahwa setiap kemunculan tahap baru akan diawali dengan pertentangan antara pemikiran tradisional dan pemikiran yang berdifat progresif. Sebagaimana Spencer yang menggunakan analogi perkembangan mahkluk hidup, Comte menyatakan bahwa dengan adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferiansi dan terspesialisasi.  
Membahas tentang perubahan sosial, Comte membaginya dalam dua konsep yaitu social statics (bangunan struktural) dan social dynamics (dinamika struktural). Bangunan struktural merupakan struktur yang berlaku pada suatu masa tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang melandasi dan menunjang kestabilan masyarakat. Sedangkan dinamika struktural merupakan hal-hal yang berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Perubahan pada bangunan struktural maupun dinamika struktural merupakan bagian yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan Spencer dan Comte yang menggunakan konsepsi optimisme, Oswald Spengler cenderung ke arah pesimisme. Menurut Spengler, kehidupan manusia pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak pernah berakhir dengan pasang surut. seperti halnya kehidupan organisme yang mempunyai suatu siklus mulai dari kelahiran, masa anak-anak, dewasa, masa tua dan kematian. Perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang terus akan berulang dan tidak berarti kumulatif.
Perkembangan vs Siklus
Perbandingan
Perkembangan
Siklus
Landasan Pemikiran
Perkembangan organisme
Perkembangan organisme
Sifat perubahan
Kumulatif
Siklus pasang surut
Konsepsi
Optimisme
Pesimisme

            Kedua teori besar ini pada akhirnya mempunyai banyak “turunan”. Teori perkembangan yang diawali oleh Spencer dan Comte melahirkan pemikiran Marx. Sedangkan teori siklus melahirkan pemikiran Vilfredo Pareto dan Max Weber. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis.
            Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini kan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas.
Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman; Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830 - 1980
            Catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans HΓΌsken yang dilaksanan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah.  Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru.
            Daerah pedesaan Tayu sebelum 1850 berkembang sering dengan masuknya imperialisme gula oleh Belanda. Sebelum masuk imperialisme gula tersebut, wilayah ini tidak memiliki arti dan peran yang penting dalam perekonomian. Sebuah laporan yang dilakukan oleh Du Bus pada tahun 1825 mencoba membandingkan mengenai pertanian Jawa dan pertanian Eropa. Gambaran yang disampaikan oleh Du Bus pada waktu itu tentang pertanian Jawa adalah sebuah pertanian yang tidak berkembang atau mandek. Bagi Du Bus, pertanian Jawa sudah tidak dapat berkembang karena tatanan sosial masyarakat pedesaan Jawa dan sifat kebersamaan sosial ekonomi yang berlaku. Menurutnya, petani Jawa merupakan petani padi yang terlibat dalam berbagai macam upeti dan kerja suka rela kepada kaum pejabat pribumi, sehingga petani Jawa menjadi petani yang pasif dan diliputi oleh sifat apatis. Penduduk pedesaan Jawa hampir seluruhnya merupakan petani kecil yang hanya memiliki secuil tanah. Hasil pertanian yang diperoleh sebatas untuk menutupi kebutuhan sehari-hari secara minimal. Secara ekonomi, mereka tidak berani mengambil resiko dalam pemilihan komoditas, sehingga dari masa ke masa mereka tetap mengusahakan tanaman padi.
            Kebijakan yang harus diambil untuk mengatasi kemandekan tersebut adalah dengan kebijaksanaan politik liberal sehingga mampu merangsang pertumbuhan perekonomian pemerintah kolonial melalui bantuan dari luar. Politik ini diwujudkan dalam bentuk perubahan struktur kepemilikan tanah yang semula komunal menjadi perorangan, mengundang investasi asing serta menyediakan tanah untuk diusahakan oleh orang Eropa.
            Gagasan Du Bus dibantah oleh Van den Bosch, yang tidak melihat adanya keuntungan bagi pemerintah kolonial apabila melakukan politik liberal tersebut. Bosch kemudian mengusulkan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Keberhasilan Bosch pada saat bertugas di Suriname membuat Raja Willem I menghargai pendapatnya, hingga pada tahun 1830, Bosch menggantikan kedudukan Du Bus. Akhirnya kebijakan tanam paksa menjadi landasan kebijakan kolonial Belanda sesudah tahun 1830. Bersamaan dengan masuknya ekonomi kapitalis, timbul pula gejala komersialisasi yang meluas cepat di daerah pedesaan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya diferensiasi sosial sebagai akibat konversi penggunaan dan konsentrasi penguasaan tanah di tangan petani lapisan atas serta pemilik modal. Semakin jelas terjadinya pelapisan sosial, bahkan menuju pada kesenjangan sosial yang semakin melebar. Kesenjangan sosial yang cukup lebar ini kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan perlawanan politik.
            Perkembangan kemudian adalah diferensiasi sosial yang terjadi, sebagai gejala sosiologi sejak kapitalisme liberal menyusup ke dalam masyarakat desa. Pertentangan antar lapisan sosial dan pertentangan ekonomi serta politik semakin tajam. Pertentangan ini terjadi sebagai dampak dari penguasaan atas tanah dan tenaga kerja. Perebutan yang terjadi mengenai penguasaan atas aset tanah dan tenaga kerja tidak dapat lepas dari perkembangan dan kemunduran industri gula di daerah tersebut.
            Kesulitan masyarakat semakin menjadi-jadi setelah krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 1930-an. Kesejahteraan penduduk di Tayu dan Desa Gondosari semakin merosot setelah pada tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa lahan pertanian lagi, bahkan pada tahun 1933 pabrik gula memecat semua pekerja tetap. Kesengsaraan belum berakhir seiring dengan pecahnya perang dunia ke-2 dan masuknya pendudukan Jepang pada tahun 1942. Kebijakan tanam paksa ternyata diwarisi oleh pemerintahan kolonial Jepang, bahkan seperempat hingga sepertiga hasil panen disita oleh pemerintah kolonial Jepang untuk memenuhi logistik perang.
            Era kemerdekaan juga tidak dengan serta merta dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Diferensiasi sosial tetap terjadi sebagai akibat komersialisasi dan akumulasi penguasaan tanah, modernisasi pertanian dan pertikaian politik lokal sebagai pencerminan dari proses-proses di tingkat nasional. Struktur sosial di pedesaan tidak berubah, elit desa sebagai lapisan atas yang menguasai tanah tetap dominan. Lapisan bawah semakin bertambah karena pertambahan penduduk dan ketertarikan penduduk untuk bekerja sebagai buruh tani di industri gula.
            Peralihan kepemimpinan pada rezim orde baru yang didukung oleh negara-negara barat merubah pula model pembangunan nasional bangsa kita, termasuk di dalamnya pembangunan pertanian. Kebijaksanaan pembangunan pertanian menggunakan pendekatan modernisasi dan intensifikasi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi. Pada era ini pula keberhasilan semu pembangunan pertanian menampakkan hasilnya. Pada tahun 1985, Indonesia berhasil mewujudkan swasembada pangan terutama beras.
            Dibalik keberhasilan tersebut, struktur sosial masyarakat pedesaan tetap tidak berubah. Diferensiasi tetap terjadi bahkan dengan jurang pemisah yang jauh lebih lebar antara petani kaya dengan petani miskin, antara tuan tanah dengan buruh tani. Pembangunan pertanian hanya menyentuh petani besar yang menguasai tanah dalam jumlah besar, sedangkan petani kecil dan buruh tani justru terlempar dari sektor pertanian. Selain bertahan dengan “keterbatasannya”, petani kecil dan buruh tani terpaksa melakukan migrasi di daerah perkotaan sehingga memunculkan masalah baru dalam pembangunan nasional.
Madura dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam
            Penelitian ini dilaksanakan di sebuah desa di pantai selatan Madura, yang diberi nama samaran Desa Parindu. Desa Parindu termasuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, satu diantara empat kabupaten yang ada di Madura. Sebagian besar penduduk setempat berdagang komoditi pertanian, terutama tembakau dengan daerah pemasaran Jawa. Tembakau ini diperoleh dari daerah timur Madura. Hubungan dagang yang dijalin oleh penduduk Desa Parindu ternyata sangat luas, tidak terbatas pada daerah di sekitar Madura namun hingga para pengusaha di Jawa.
            Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, Madura menjadi bagian negara kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memutuskan untuk mempertahankan sistem pemerintahan tidak langsung di Madura. Berbeda dengan para bupati di Jawa yang mengalami pemerintahan langsung di sebagian besar Jawa. Para bupati di Jawa ditunkan statusnya menjadi pegawai kolonial, sedangkan penguasa Madura tetap memiliki otonomi dalam pemerintahan.
            Pada awal abad 19, para bupati di Madura berhasil memperluas kemandirian mereka. Setiap tahun Pulau Madura menyumbangkan sejumlah besar calon serdadu untuk tentara kolonial. Pada tahun 1831 di setiap kabupaten didirikan korps-korps militer yang disebut barisan. Korps militer ini dilatih oleh para instruktur Eropa untuk memerangi huru-hara di seluruh nusantara. Akibat “budi baik” para bupati ini, pemerintah kolonial semakin “memanjakan” para bupati, bahkan bupati mendapatkan kebebasan untuk mendapatkan penghasilan dari rakyat. Fenomena ini menyebabkan bupati menjadi penguasa yang lalin dan cenderung “menghisap” rakyat. Pemerintah kolonial akhirnya menyadari bahwa perilaku para bupati sudah sangat keterlaluan sehingga secara berangsur-angsur mengurangi wewenang bupati tersebut.
            Secara umum Desa Parindu dibagi menjadi dua wilayah sesuai dengan tipe ekologinya. Wilayah pesisir merupakan daerah pemukiman yang menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan laut. Selain wilayah pesisir, Desa Parindu juga mempunyai wilayah dataran yang agak jauh dari pantai. Daerah ini dikenal dengan daerah udik. Sebagaimana wilayah Madura umumnya, daerah udik merupakan wilayah lahan kering sehingga pertanian yang berkembang merupakan pertanian lahan kering atau tegalan. Komoditas yang paling dominan adalah kelapa dan siwalan. Desa Parindu pun dikenal sebagai desa penghasil gula kelapa atau gula aren. Bertambahnya penduduk dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan timbulnya gejala migrasi.
            Temuan penting dalam penelitian ini yang menarik untuk diulas adalah dinamika pengusahaan komoditas tembakau. Penyebarluasan tanaman tembakau komersial di Madura sangat ditentukan oleh perkembangan agraris di Jawa. Penerapan sistem tanam paksa maupun introduksi kapitalisme perkebunan secara tidak langsung memberikan arti penting bagi budidaya tembakau di Madura. Penanaman tembakau di Jawa dimulai sejak abad 17. tembakau diperkenalkan oleh orang-orang Portugis dan terbatas ditanam di sekitar pantai yang sering dikunjungi oleh orang-orang Eropa. Perkembangan tanaman tembakau menjadi pesat dan menyebar ke berbagai penjuru Jawa. Pada abad 18, tembakau termasuk dalam komoditas penting. Tembakau menjadi barang dagangan nomor dua setelah beras. Dari berbagai macam tanaman perkebunan yang diperkenalkan orang Eropa kepada petani Jawa, tembakau menempati urutan paling tinggi sebagai tanaman yang paling disukai oleh petani Jawa. Penanaman tembakau di Madura sebelum tahun 1800-an tidak terdapat keterangan yang berarti, mungkin karena pengusahaannya masih dalam skala terbatas. Pada tahun 1832, tembakau termasuk dalam salah satu komoditas sistem tanam paksa. Namun di Madura tembakau masih merupakan tanaman rakyat yang bebas. Perdagangan tembakau dikuasai oleh orang Jawa dan Cina.
            Keterbatasan ekologi Madura menyebabkan sistem tanam paksa tidak masuk ke Madura. Bahkan ketika imperialisme gula hadir, Madura menjadi daerah yang tidak tersentuh. Begitu halnya dengan komoditas tembakau. Seiring meningkatnya jumlah perkebunan tembakau yang dikelola oleh pemerintah kolonial, banyak tenaga kerja yang dibutuhkan. Pengalaman dalam penanaman tembakau skala kecil yang dimiliki oleh orang Madura, menyebabkan dalam waktu singkat mereka mendapatkan pekerjaan di perkebunan tembakau Jawa.
            Pengalaman yang diperoleh selama menjadi buruh migran di Jawa dipraktekkan di Madura.  Walaupun pemerintah kolonial telah melakukan “penelitian” yang hasilnya adalah tidak merekomendasikan pengembangan tembakau di Madura, kegiatan penanaman tembakau secara “modern” ini ternyata berhasil. Sejak saat itu pula perkembangan tembakau di Madura dapat sedemikian pesatnya. Penyebarluasan tanaman tembakau menimbulkan pergeseran dalam hubungan kepemilikan tanah dan juga hubungan kerja. Bentuk penyewaan tanah dan bagi hasil mengalami peningkatan yang sangat berarti. Demikian pula dengan pertambahan jumlah buruh tani atau petani tanpa tanah.


Perubahan Sosial di Masyarakat Jawa
Periode
Parindu
Gondosari
Pemerintah kolonial Belanda
· Tidak tersentuh sistem tanam paksa akibat keterbatasan ekologis.
· Tembakau menjadi komoditas yang berkembang di Jawa, banyak penduduk Madura dipekerjakan pada perkebunan tembakau.
· Tahun 1861 muncul perusahaan partikelir yang mencoba komoditas tembakau secara intensif dan berhasil.
· Munculnya sistem tanam paksa (imperialisme gula).
· Diferensiasi sosial muncul antara lapisan petani kaya dan petani miskin, tuan tanah dengan buruh tani.
· Pada tahun 1930, krisis ekonomi melanda dunia. Pabrik gula mengalami kebangkrutan, tahun 1932 pabrik gula tidak menyewa lahan pertanian lagi, bahkan pada tahun 1933 pabrik gula memecat semua pekerja tetap.
Pemerintah kolonial Jepang
· Penanaman tembakau mengalami kemunduran. Petani hanya diperbolehkan menanam tanaman pangan.
· Sistem tanam paksa dengan komoditas tanaman pangan, hingga sepertiga hasil panen dirampas oleh pemerintah kolonial Jepang untuk logistik perang.
Orde Lama
· Tahun 1950-an penanaman tembakau mengalami peningkatan kembali. British American Tobbaco mulai melirik Madura.
· Tahun 1952 pabrik gula beroperasi kembali.
· Tahun 1956 pabrik gula berhenti beroperasi sebagai akibat aksi buruh dan petani yang berafiliasi ke PKI.
· Pada tahun 1957 pabrik gula diambil alih oleh pemerintah (militer), namun pengelolaannya tidak efisien sehingga tidak mampu membayar sewa lahan kepada petani. Petani beralih mengusahakan komoditas padi.
· Tahun 1960 terjadi krisis ekonomi dan politik. Ketegangan terjadi antara simpatisan PKI, NU dan PNI.
· Tahun 1965 terjadi pembantaian besar-besaran terhadap simpatisan PKI oleh pemuda NU.
Orde Baru
· Penanaman tembakau semakin intensif dan berkembang luas di Madura seiring revolusi hijau.
· Revolusi hijau, semakin memperlebar diferensiasi sosial. Hanya petani kaya yang mampu mengakses pembangunan pertanian ala orde baru.


Teori siklus menurut ibnu khaldun
              Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar